Sabtu, 11 November 2017

Puri Batin [Ruangan Pertama, Bab 2, Pasal 1-7]

PURI BATIN
Teresa de Jesus

RUANGAN PERTAMA
BAB II

Bagaimana Tuhan menunjukkan kepada seseorang betapa buruknya jiwa yang berada dalam keadaan dosa berat. Perlunya mengenal diri dan beberapa hal lain yang pantas diperhatikan dan bagaimana memahami ruangan-ruangan ini.

1.     Sebelum melanjutkan saya ingin meminta hal berikut. Coba pikirkan apa yang akan kita lihat dalam puri yang indah jelita ini, mutiara dari Timur, apabila jiwa itu jatuh ke dalam keadaan dosa berat (1).
     Tidak ada kegelapan yang lebih pekat dari pada jiwa yang berada dalam keadaan dosa berat. Tetapi ketahuilah, biarpun matahari, yang memberikan kecerahan dan keindahan, masih ada di pusat jiwa ini, matahari itu seolah-olah tidak ada lagi di sana untuk memberikan terangnya kepada jiwa itu. Sebab biarpun jiwa itu sebenarnya sama mampu menikmati Seri Baginda seperti hablur dapat memantulkan sinar matahari, namun ia sama sekali tidak memperoleh manfaat lagi dari semuanya itu. Akibatnya, segala perbuatan baik yang dilakukannya selama ia masih dalam keadaan dosa berat sama sekali tidak berbuah untuk surga. Perbuatannya tidak bersumber pada Allah yang menjadikan perbuatan itu menjadi kebajikan.
     Jadi, bila kita menjauhi Tuhan, tidak ada apa pun lagi yang bermanfaat di dalam diri kita di mata Tuhan. Tujuan orang yang berbuat dosa berat memang bukan untuk menyenangkan Tuhan, melainkan mau menyenangkan setan. Karena setan adalah kegelapan semata-mata, maka jiwa yang malang ini pun diubahnya menjadi kegelapan.
2.     Saya mengenal seseorang yang diperkenankan Tuhan melihat keadaan jiwa yang berada dalam keadaan dosa besar. Orang ini (2) berkata bahwa bila seseorang menyadari betapa gelapnya keadaan jiwa yang berdosa berat pasti tidak akan berbuat dosa lagi, walaupun untuk menghindari dosa itu ia harus berjuang setengah mati.
     Ia amat merindukan supaya semua orang menyadari hal ini. Putri-putriku, semoga kalianpun sekarang mendoakan orang-orang yang karena salahnya sendiri menjadi kegelapan yang mutlak ini.
     Seperti sungai-sungai yang berasal dari mata air yang jernih, juga jernih airnya, demikian pula perbuatan jiwa yang berada dalam keadaan rahmat, amat berkenan di mata Tuhan dan manusia. Perbuatan itu bersumber pada mata air kehidupan. Jiwa ditempatkan di sana, laksana sebatang pohon yang diairi oleh sumber tadi, sehingga tidak menjadi kering, dan dapat berbuah. Tanpa air dari sumber itu pohon tidak akan berdaun hijau ataupun berbuah. Begitu pula sebaliknya, segala apa yang dihasilkan jiwa yang karena kesalahannya sendiri menjauh dari sumber ini dan berdiam di dekat kolam yang airnya amat kotor dan berbau busuk adalah busuk dan menjijikkan.
3.     Hendaknya kita ingat, bahwa sumber itu, matahari gemilang yang ada di pusat jiwa kita, tidak kehilangan kecerahan dan keelokannya. Sifat itu tetap. Tidak ada apa pun yang dapat merampas keelokannya. Tetapi jelaslah, jika kita menutupi hablur yang disinari matahari dengan secarik kain hitam, maka sinar matahari tidak dapat mengenai hablur itu.
4.     Wahai jiwa-jiwa yang sudah ditebus oleh Darah Tuhan Yesus Kristus! Kenalilah dirimu dan kasihanilah dirimu! Bagaimana mungkin, jika kamu mengetahui hal ini, kamu tidak mencoba menghapus jelaga dari hablur itu. Ingatlah, bila kamu kehilangan hidupmu, kamu tidak pernah lagi dapat menikmati terang ini. Ah, Yesusku!
     Betapa ngeri keadaan orang yang menjauhi Tuhan dan bagaimana gerangan keadaan ruangan-ruangan gelap di puri itu! Betapa kacau pancaindera-pancainderanya, yaitu penghuni-penghuni tempat itu. Dan betapa buta dan buruk daya-daya batin kita (3), yaitu para pemimpin, pembesar-pembesar dan pengurus puri itu! Betapa buruknya pemerintahan mereka! Akan tetapi, karena pohonnya ditanam pada iblis, tentu buah-buahnya akan sesuai dengannya.
5.     Pernah kudengar ucapan seorang yang betul-betul bersifat rohani mengatahakan bahwa ia tidak heran akan apa saja yang dilakukan orang yang berada dalam keadaan dosa berat. Tetapi ia heran akan apa yang tidak dilakukan orang itu. Kiranya, karena kerahimanNya, Tuhan membebaskan kita dari musibah besar itu. Sebab di dalam hidup ini tidak ada sesuatu pun yang pantas disebut kemalangan kecuali yang mengakibatkan kemalangan kekal. Putri-putriku, itulah yang harus kita takuti dan itulah yang harus kita minta kepada Tuhan waktu kita berdoa. Jika Tuhan tidak melindungi kota, semua jerih payah kita akan sia-sia (4), sebab kita semua tidak berarti apa-apa.
     Orang tadi mengatakan pula bahwa anugerah Tuhan mengajarkan dua hal kepadanya. Pertama, ia sangat takut untuk menghina Tuhan. Sebab itu tidak putus-putusnya ia mohon agar Tuhan jangan membiarkan dia jatuh dalam dosa, karena dia sudah melihat akibat-akibatnya yang ngeri. Kedua, ia menjadi rendah hati. Ia sadar bahwa segala kebaikan yang kita lakukan bukan bersumber pada diri kita sendiri, melainkan pada sumber, di mana pohon jiwa kita ditanam, sehingga sesudah ia berbuat sesuatu kebaikan, atau melihat orang lain melakukan kebaikan, ia langsung ingat akan sumbernya dan mengerti bahwa tanpa bantuanNya kita tidak berdaya sama sekali. Mereka itu langsung merasa terdorong untuk memuji Tuhan dan melupakan dirinya sendiri, betapa baik pun perbuatannya.
6.     Para suster, waktu yang kamu pakai untuk membaca ini dan yang saya pakai untuk menulisnya tidaklah sia-sia, jika kita ingat kedua hal tadi. Orang-orang terpelajar dan berpengalaman mengerti betul hal ini, tetapi akal budi kita yang lambat memang perlu mengingatnya. Mungkin Tuhan menghendaki perbandingan itu muncul dalam benakku, supaya kita dapat memahaminya. Semoga Tuhan memberikan rahmat yang kita butuhkan.
7.     Bagi akal budiku perkara-perkara batin ini amat kabur dan pelik, sehingga saya orang yang bodoh ini, harus menulis dengan banyak kata yang berlebihan dan banyak omong kosong sebelum dapat menulis sesuatu dengan jelas. Hendaknya pembaca sabar, seperti aku juga harus sabar menuliskan hal-hal yang tidak kupahami betul. Sungguh, kadang-kadang sambil mengambil sehelai kertas untuk menulis, saya merasa diri bodoh sekali dan tidak tahu apa yang hars kutulis atau bagaimana menulisnya.
     Saya betul mengerti betapa pentingnya membahas soal-soal batin tertentu sejelas-jelasnya. Kita selalu mendengar bahwa doa adalah suatu hal yang luar biasa. Menurut konstitusi, kita harus berdoa selama beberapa jam. Namun tidak diterangkan lebih banyak dari pada apa yang dapat kita lakukan sendiri. Sangat sedikit diberi keterangan tentang apa yang dapat dilakukan Tuhan dalam batin kita, maksudku tentang yang adikodrati (5). Membicarakan dan menerangkannya dalam beberapa cara akan menghibur kita dalam memandang bangunan batin ini.
     Walaupun dalam beberapa karanganku saya telah menerangkan beberapa hal dengan bantuan rahmat Tuhan, saya menyadari bahwa waktu menulisnya saya belum mengerti segala sesuatunya seperti sekarang ini, khususnya mengenai soal yang paling sulit ini. Seperti sudah kusebutkan, yang menjengkelkan ialah bahwa dalam pembahasan itu saya harus mengulangi hal-hal yang biasa sekali. Ya, apa boleh buat, budiku masih terlalu kasar.

-----
(Hak Cipta Biara Karmel - Lembang)

Minggu, 15 Oktober 2017

Kata-kata Bijak Para Bapa Padang Gurun [#17]

Kata-kata Bijak
Para Bapa Padang Gurun
dari Abad IV

Apophthegmata Patrum
#17

     Abbas Anastasius mempunyai buku yang terbuat dari kertas perkamen yang sangat halus, yang berharga delapan belas "pence"; di situ tertulis seluruh kitab Perjanjian Lama dan kitab Perjanjian Baru. Suatu ketika seorang saudara mengunjunginya dan melihat buku yang indah itu, lalu mencurinya. Pada hari itu ketika Abbas Anastasius akan membaca bukunya dan tidak menemukannya lagi, maka tahulah dia bahwa saudara itulah yang telah mengambilnya. Tetapi ia tidak mau mencari saudara itu untuk menanyakannya, karena ia takut kalau saudara itu nantinya akan menambah kesalahan dengan bersumpah palsu tentang pencuriannya.
     Saudara itu lalu pergi ke kota untuk menjual buku tersebut. Harga yang dimintanya enambelas "pence." Pembeli berkata: "Berikan buku itu kepadaku agar aku dapat mengetahui apakah harga setinggi itu pantas baginya." Maka, si pembeli membawa buku itu kepada Anastasius orang yang suci itu dan berkata: "Bapa, silahkan melihat buku ini, dan katakan pendapatmu, apakah aku harus membayar buku ini dengan enambelas "pence", apakah harga setinggi itu pantas baginya?" Abbas Anastasius menjawab: "Ya, ini buku bagus, sebesar itulah harganya." Maka kembalilah si pembeli itu dan berkata kepada saudara itu: "Inilah uangmu." Saya telah menunjukkan buku ini kepada Abbas Anastasius dan beliau berkata bahwa ini buku yang bagus dan harganya paling sedikit enambelas "pence." Tetapi saudara itu bertanya: "Apakah hanya itu saja yang dikatakannya? Apakah ia mengatakan hal lain?" Kata si pembeli: "Tidak, ia tidak mengatakan hal lain." Kata saudara itu: "Baiklah, aku mengubah pikiranku dan aku tidak ingin menjual buku ini sama sekali."
     Lalu dengan cepat ia mendapatkan Abbas Anastasius dan memohonnya sambil mencucurkan airmata agar ia mau menerima kembali bukunya. Tetapi Abbas Anastasius tidak mau menerimanya, katanya: "Pergilah dalam damai saudara, aku menghadiahkannya kepadamu." Tetapi saudara itu berkata: "Jika engkau tidak mau menerimanya kembali maka aku tidak akan pernah mendapat kedamaian." Sesudah itu ia tinggal bersama Abbas Anastasius sampai akhir hidupnya.

Abbas Anastasius dari Sinai

Source: Merton, Thomas. "The Wisdom of the Desert: Sayings from the Desert Fathers of Fourth Century." 
Translated by OCSO Gedono, 2006.

Minggu, 29 Januari 2017

Kata-kata Bijak Para Bapa Padang Gurun [#16]

Kata-kata Bijak
Para Bapa Padang Gurun
dari Abad IV

Apophthegmata Patrum
#16

     Salah seorang saudara bertanya kepada Abbas Isidorus, penatua di Skete: "Apa sebabnya maka setan-setan itu begitu takut kepadamu?" Orang tua itu menjawab: "Sejak aku menjadi rahib, aku berusaha keras untuk mencegah jangan sampai kemarahan itu keluar dari bibirku."

Abbas Isidorus dari Pelusium

Source: Merton, Thomas. "The Wisdom of the Desert: Sayings from the Desert Fathers of Fourth Century." 
Translated by OCSO Gedono, 2006.

Kata-kata Bijak Para Bapa Padang Gurun [#15]

Kata-kata Bijak
Para Bapa Padang Gurun
dari Abad IV

Apophthegmata Patrum
#15

     Dikatakan tentang Abbas Agatho, bahwa selama tiga tahun ia terus-menerus menaruh batu (Bhs Jawa: ngemut batu) di mulutnya, sampai ia dapat belajar hening.

Abbas Agatho

Source: Merton, Thomas. "The Wisdom of the Desert: Sayings from the Desert Fathers of Fourth Century." 
Translated by OCSO Gedono, 2006.

Kata-kata Bijak Para Bapa Padang Gurun [#14]

Kata-kata Bijak
Para Bapa Padang Gurun
dari Abad IV

Apophthegmata Patrum
#14

     Seorang penatua melihat seseorang sedang tertawa-tawa tidak serius, maka ia berkata kepadanya: "Dalam kehadiran Allah dunia dan Allah surga kita harus menjawab-Nya dengan seluruh hidup kita dan engkau hanya tertawa-tawa saja."

Abbas Antonius

Source: Merton, Thomas. "The Wisdom of the Desert: Sayings from the Desert Fathers of Fourth Century." Translated by OCSO Gedono, 2006.