Minggu, 06 November 2022

Spiritualitas Penghayatan Ibadat Harian [Bab 1]

 

Martha E. Driscoll, OCSO

Bab 1: Mengapa kita berdoa?

Dalam keempat Injil, kita berulang kali menemukan catatan bahwa Yesus berdoa, seringkali menyendiri untuk berdoa di tempat sunyi. Yesus tidak hanya berdoa, tetapi Ia juga mendesak para murid-Nya untuk berdoa. Dia menegaskan bahwa perlu berdoa selalu dengan tidak jemu-jemu dan Perjanjian Baru penuh dengan seruan bahwa perlu berdoa tanpa henti-hentinya, senantiasa bersyukur dan mempersembahkan korban syukur.
 
Dari Kisah Para Rasul dan surat-surat yang termuat dalam Perjanjian Baru, kita tahu bahwa para rasul dan umat kristen mempraktekkan anjuran Yesus untuk berdoa. Santo Paulus mengakui ia “senantiasa” (1 Kor 1:4) berdoa, “tidak berhenti mengucap syukur” (Ef 1:16), “mengucap syukur dan berdoa setiap kali” ia mengingat umat (Flp 3-4). Anjuran Yesus untuk berdoa dengan tekun, baik secara pribadi maupun bersama mewarnai kehidupan umat kristen sejak periode pertama. Pengaruh kebiasaan Yahudi, menguduskan hari melalui beberapa saat doa bersama di kenisah atau rumah ibadat, sangat kuat terhadap Gereja Purba. Sehingga umat kristen pada masa itu punya kebiasaan untuk berdoa pagi dan sore bersama. 

Lalu mengapa kita berdoa? Apakah untuk merasakan pengalaman yang enak dan memuaskan? Apakah kita hanya mau mencari pengalaman, sesuatu  yang bersifat psikologis dalam doa, kalau kita kita tidak mengalami hal yang kita nantikan, lalu kita kecewa. Sering kali ada bayangan keliru tentang doa, maka lama kelamaan kita merasa gagal, malu karena tidak mampu, dengan membenarkan diri kalau mengabaikannya. Tanpa dasar iman, kita bisa berdoa untuk mencari suatu pengalaman enak, relaks, tenang, penuh seni, tetapi mungkin kita tidak menimba dari sumber kehidupan. 

Seharusnya doa adalah kegiatan yang paling membahagiakan karena memang kita diciptakan untuk berpartisipasi dalam kehidupan Allah, yaitu menikmati relasi pribadi dengan Bapa, Putera dan Roh Kudus. Di situlah kita menemukan diri kita sendiri yang sejati sebagaimana dikehendaki Allah, yang adalah keserupaan dengan Putera-Nya. Apa artinya semua usaha kita kalau tidak dikerjakan dalam kesatuan intim, sehati sejiwa dengan Tuhan Yesus yang hanya mau mencari kehendak Bapa?

Akan tetap kita adalah ciptaan dalam keadaan berdosa: “Dalam dosa aku dikandung ibu.” Relasi dengan Allah diputus oleh pemberontakan kita. Kita mencari diri sendiri daripada Allah. Kita tidak tahu bagaimana berdoa kalau kita tidak mau berdoa, kita mengalami bahwa kita tidak mampu - ada perpecahan yang makin dialami di dalam diri kita. Dalam Peraturan Santo Benediktus yang adalah dasar hidup spiritualitas monastik kami, dianjurkan bahwa pada ibadat  harian pikiran kita hendaknya selaras dengan suara kita. Mungkin merupakan suatu undangan untuk hadir dengan penuh perhatian, tanpa membiarkan diri jatuh dalam pikiran distraksi, suatu perjuangan hebat. Tetapi ada arti yang lebih dalam: keselarasan antara pikiran dan suara hanya bisa dialami oleh manusia yang telah direkonsiliasikan, dipulihkan, dipersatukan. Jarang pikiran kita sama dengan suara kita bukan hanya dalam ibadat melainkan juga dalam hidup sehari-hari. Bicara tanpa pikir, tidak berani mengatakan apa yang dipikirkan, terpecah. Kita mengalami kebutuhan kita untuk diselamatkan agar kita bisa mengarahkan diri pada Allah menurut keinginan kita yang terdalam.

------------

(Hak Cipta: Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono. Penyalin: Herman SSCG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar