Minggu, 06 November 2022

Spiritualitas Penghayatan Ibadat Harian [Bab 4]

 

Martha E. Driscoll, OCSO

Bab 4: Mendekati Mazmur Melalui Lectio (Mazmur 62)

Berdoa dengan teks-teks mazmur-mazmur memang sulit. Buktinya ada jumlah besar buku pengantar dan komentar. Perlu memberi waktu untuk belajar berdoa sehingga mazmur menjadi pertemuan pribadi dengan Allah. Studi serius dan tekun mutlak perlu tetapi itu hanya merupakan kerja persiapan. Salah satu cara yang terbaik untuk belajar menikmati sebuah mazmur adalah lectio. Ambillah satu mazmur sebagai bahan doa pribadi. Daraskan pelan-pelan dengan memakai suara kalau bisa, mulut sekurang-kurangnya, membiarkan kata-kata masuk, mengena. Pilihlah satu ayat dan ulang-ulangilah sampai hafal. Ingatlah ayat itu sepanjang hari. Tandailah ayat dalam buku mazmur. Ayat yang dicintai dan didoakan secara khusus akan menjadi terang yang menerangi seluruh mazmur dan mengantar masuk ke dalam artinya. Carilah komentar dalam sebuah buku tentang mazmur itu, ini juga akan membantu. Makin kita mengerti arti harafiah dari mazmur, makin kita bisa memakainya sebagai doa sendiri, ungkapan pengalaman kita sendiri.

Mazmur 62 mengungkapkan haus dan lapar jiwa dan raga kita, kebutuhan mutlak akan Allah. Seluruh diri kita merasa kebutuhan itu dan terlibat dalam doa : jiwa, badan, mata, hati, tangan, bibir, mulut. Yang paling menarik adalah santapan lezat yang akan mengenyangkan - terjemahan yang lebih literal : Seperti dengan lemak dan sumsum jiwaku dikenyangkan. Semuanya dalam konteks liturgi Perjanjian Lama di mana dalam perayaan korban syukur lembu yang disembelih dan dipersembahkan lalu dimakan bersama sebagai tanda kesatuan. Ada bagian tertentu bagi imam dan bagian untuk yang mengadakan korban dan bagian untuk umat, untuk kaum miskin. Hanya bagian lemak - yang paling lezat - disisihkan untuk Allah sendiri. Maka dibakar - tidak boleh dimakan oleh manusia siapa pun. Akan tetapi dalam mazmur 62 itulah bagian yang akan dinikmati - ramalan tentang Ekaristi di mana kita makan Tuhan Yesus sendiri - perjamuan paling lezat.

Tuhan juga telah menghidangkan santapan lezat dalam ibadat harian dan setiap mazmur penuh dengan nikmat rohani. Akan tetapi kalau orang sakit, dia tidak punya nafsu makan. Malahan makin disediakan baginya makanan yang penuh lemak, makin dia merasa mual. Mungkin itulah situasi kita terhadap ibadat harian. Karena kita belum begitu spiritual, belum terarah kepada Allah, masih mencari nikmat material, egoistis ... maka sering bosan dan mual terhadap hidangan ilahi. Maka kita tak dapat mempersalahkan mazmur melainkan menerima dengan rendah hati bahwa kita belum tahu menghargai yang sangat bermutu - atau hanya kadang-kadang. Maka kita harus bertekun minum dan makan dari meja Tuhan untuk menjadi makin kuat, makin pekan, makin mampu menikmatinya.

Kita harus belajar makan kata-kata, memakai indera kita secara baru, menemukan indera hati/batin. Kita terlalu rasional: kata-kata untuk pikir di otak. Tetapi Sabda ilahi adalah hidup dan perlu dikunyah, diputarkan di atas lidah, dirasakan konsistensinya, ditelan dan dicernakan. Mazmur adalah puisi yang penuh lambang, simbol dan analogi yang sangat konkrit. Perlu daya imajinasi lebih dari pada daya logis, memakai otak kanan yang terlalu sedikit dipakai. Menu yang disediakan memang cocok untuk semua selera dan penyakit, semua kebutuhan dan keadaan hati. Bersahabat dengan mazmur-mazmur berarti mempunyai suatu gudang teman yang punya kata-kata yang tepat bagi saya dalam semua situasi hidup saya.

------------

(Hak Cipta: Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono. Penyalin: Herman SSCG)

Spiritualitas Penghayatan Ibadat Harian [Bab 3]

 

Martha E. Driscoll, OCSO

Bab 3: Bagaimana Membangun Relasi Pribadi dengan Kristus Melalui Doa Mazmur?

Bertemu dengan Kristus berarti bertemu dengan sumber kehidupan. Yesus berdoa melalui mazmur-mazmur yang diilhami oleh Roh Kudus sebelum Ia lahir. Di dalam mazmur, Yesus menemukan ungkapan hati-Nya. Melalui mazmur, Yesus merangkul semua perasaan dan kesusahan, semua harapan dan ketakutan, semua niat, permohonan dan syukur yang ada di dalam hati manusia dan menyampaikannya kepada Bapa. Kita pun dipanggil untuk menemukan inti hati Yesus, inspirasi Roh di dalam mazmur-mazmur dan kidung-kidung sampai merasa bahwa doa-doa itu disusun oleh diri kita sendiri. Mazmur-mazmur membentuk pikiran dan perasaan kita, menjadi serupa dengan pikiran dan perasaan Kristus.

Mazmur-mazmur merupakan sekolah kepercayaan, pengharapan, penyerahan dan persembahan diri, kesadaran diri sebagai ciptaan, takwa, ketergantungan. Yaitu mengajar kita relasi yang benar dengan Allah. Kita hanya bisa belajar berdoa dari Yesus: mohon ampun, bersyukur atas keselamatan, memuji Allah dan karya-Nya (ciptaan, wahyu, penebusan, keselamatan), bersembah sujud di hadapan kemuliaan-Nya, mohon kebaikan dan belas kasihan-Nya, bagi sesama. Gereja seluruh dunia, mohon Roh Kasih agar kita dapat menyampaikan kabar gembira pada orang lain dengan seluruh hidup kita.

Hal itu tidak mudah. Tidak Instan. Tidak pernah tercapai seluruhnya. Perlu kesabaran, kesusahan, ketekunan, kerendahan hati. Khususnya perlu kerinduan besar yang memberi daya untuk bertahan dalam usaha yang tidak selalu menyenangkan, yang sering dirasa berat, kering, tanpa arti. Kerinduan akan Allah, kerinduan mengenal dia dan berelasi secara intim dan dalam dengan Dia. Kerinduan akan keselamatan, agar semua orang mengenal Dia dan Kasih-Nya. Kerinduan akan Kebenaran-Nya dan Keindahan-Nya. Hanya Kerinduan akan hidup abadi yang bisa memberi arti kepada hidup di dunia ini. Kerinduan yang adalah Roh Kudus sendiri yang berkobar-kobar di dalam hati kita dan menjadi penggerak kita.

Kita berdoa karena kita butuh. Kita tergantung melulu pada Allah tetapi karena kedosaan kita tidak sadar, lupa, merasa autonom. Doa adalah perjuangan dengan semua godaan yang mau menjadikan kita malas, bosan, terganggu... memilih keenakan diri sendiri dari pada relasi dengan Allah yang Maha Kudus. Kalau perlu istirahat, kita tidur. Kalau perlu rekreasi, silahkan. Tetapi doa adalah seperti makan - mau tidak mau, perlu, lezat tidak lezat, perlu. Tanpa makan dan minum kita tak dapat hidup. Demikianlah tanpa doa, kita mati!

------------

(Hak Cipta: Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono. Penyalin: Herman SSCG)

Spiritualitas Penghayatan Ibadat Harian [Bab 2]

Martha E. Driscoll, OCSO

Bab 2: Ibadat Harian dan Ekaristi

Doa berarti menyatukan diri dengan korban Kristus - Ekaristi. Hanya dalam Dia, kita mampu mempersembahkan diri pada Bapa, mengabdi pada Allah dengan seluruh hidup kita, membiarkan diri kita diciptakan baru, bisa dipersatukan di dalam diri kita sendiri. 

Semua liturgi Gereja adalah partisipasi pada Paskah Yesus yang hadir dan terlaksana hari ini. Ekaristi adalah lebih dari suatu perjamuan. Liturgi berdasarkan kesengsaraan seorang manusia yang dengan “Aku” manusiawi-Nya masuk ke dalam misteri Allah. Dia adalah Putera. Dia menghayati apa yang kita semua diundang menghayati bersama Dia. Dia mati bagi kita dan kita yang diwakili di dalam kematian-Nya di salib, berpartisipasi dalam Paskah-Nya melalui liturgi. Perayaan liturgi bukan hanya suatu ritus melainkan transformasi kehidupan kita sampai kita serupa dengan Allah. Persembahan saya dan persembahan Kristus terjadi pada saat yang sama. 

Ekaristi - sumber dan puncak dari hidup kristiani - terarah pada hidup sehari-hari, kepada saya dalam hidup pribadi saya, agar tubuh kita - yaitu hidup kita di dunia ini - menjadi korban hidup dalam komunio dengan korban Kristus (Rm 12.1). Tuhan telah mendahului kita, telah membuat bagian kita, telah membuka jalan yang kita tidak mampu membukanya. Dia telah menjadi jembatan. Sekarang kita harus membiarkan diri diserap dalam Dia yang hidup bagi yang lain, membiarkan diri dirangkul oleh tangan-Nya yang terentang, yang membawa kita kepada yang lain. Dia, Yang Kudus, menguduskan kita dengan kekudusan yang kita sendiri tidak bisa memberikan kepada diri kita. Kita dimasukkan dalam proses kosmik dan historik di mana seluruh alam semesta dibawa kepada Allah sampai Dia menjadi semua dalam semua. 

Hidup moral kita adalah: hidup searah dengan proses itu - membangun komunio. Ibadat Harian adalah sekolah menghayati Ekaristi - menyiapkan dan mewujudkan perayaan Ekaristi sepanjang hari. Tujuan kita dalam doa dan dalam semua tugas sama: belajar mempersembahkan diri kepada Allah dalam Kristus. Itulah ibadat dalam Roh dan kebenaran. Kristus berdoa melalui kita: kita berpartisipasi dalam imamat-Nya yang mempersembahkan seluruh umat manusia bersama Kristus kepada Bapa dan memohon belas kasihan-Nya bagi seluruh dunia. Doa harian memang adalah tugas, adalah karya imamat, permohonan dan pewartaan. Doa Pribadi kita adalah doa Gereja, doa Kristus. Itulah doa yang paling intim dan pribadi: kita mengambil bagian dalam doa-Nya sendiri melalui Roh-Nya yang berdiam di dalam hati kita. Kita menjadi satu Roh dengan Kristus yang berdoa melalui kita. Harapan Gereja Vatikan II adalah bahwa Ibadat Harian dapat sungguh-sungguh menyuburkan hidup rohani umat Allah. “Biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu Imamat Kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah”. Agar umat kristiani menghayati kenyataannya sebagai “imamat yang rajawi, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kita memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kita ke luar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib (1Ptr 2:5,9).” Diharapkan bahwa ibadat harian dapat dirayakan dalam paroki dan keluarga, menjadi sarana doa pribadi bagi semua, sehingga seluruh hidup menjadi liturgi - pelayanan publik. Itulah tantangan untuk para imam dan religius pada milenium baru ini yang sudah disebut mengembalikan Doa Gereja kepada Umat Allah. 

Maka kami bertanya diri: apakah “menjadi akrab dengan doa ibadat” adalah istilah tepat? Akrab biasanya berarti suatu relasi yang enak dan sreg yang menyenangkan. Relasi akrab mungkin menghindari pembicaraan apa-apa yang bisa menyinggung, menyakiti. Maka mungkin bukan relasi dalam kebenaran yang mendalam. Akan tetapi kita sedang mencari relasi dengan Allah yang sangat menantang kita, tidak selalu enak dan menyenangkan.

------------

(Hak Cipta: Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono. Penyalin: Herman SSCG)

Spiritualitas Penghayatan Ibadat Harian [Bab 1]

 

Martha E. Driscoll, OCSO

Bab 1: Mengapa kita berdoa?

Dalam keempat Injil, kita berulang kali menemukan catatan bahwa Yesus berdoa, seringkali menyendiri untuk berdoa di tempat sunyi. Yesus tidak hanya berdoa, tetapi Ia juga mendesak para murid-Nya untuk berdoa. Dia menegaskan bahwa perlu berdoa selalu dengan tidak jemu-jemu dan Perjanjian Baru penuh dengan seruan bahwa perlu berdoa tanpa henti-hentinya, senantiasa bersyukur dan mempersembahkan korban syukur.
 
Dari Kisah Para Rasul dan surat-surat yang termuat dalam Perjanjian Baru, kita tahu bahwa para rasul dan umat kristen mempraktekkan anjuran Yesus untuk berdoa. Santo Paulus mengakui ia “senantiasa” (1 Kor 1:4) berdoa, “tidak berhenti mengucap syukur” (Ef 1:16), “mengucap syukur dan berdoa setiap kali” ia mengingat umat (Flp 3-4). Anjuran Yesus untuk berdoa dengan tekun, baik secara pribadi maupun bersama mewarnai kehidupan umat kristen sejak periode pertama. Pengaruh kebiasaan Yahudi, menguduskan hari melalui beberapa saat doa bersama di kenisah atau rumah ibadat, sangat kuat terhadap Gereja Purba. Sehingga umat kristen pada masa itu punya kebiasaan untuk berdoa pagi dan sore bersama. 

Lalu mengapa kita berdoa? Apakah untuk merasakan pengalaman yang enak dan memuaskan? Apakah kita hanya mau mencari pengalaman, sesuatu  yang bersifat psikologis dalam doa, kalau kita kita tidak mengalami hal yang kita nantikan, lalu kita kecewa. Sering kali ada bayangan keliru tentang doa, maka lama kelamaan kita merasa gagal, malu karena tidak mampu, dengan membenarkan diri kalau mengabaikannya. Tanpa dasar iman, kita bisa berdoa untuk mencari suatu pengalaman enak, relaks, tenang, penuh seni, tetapi mungkin kita tidak menimba dari sumber kehidupan. 

Seharusnya doa adalah kegiatan yang paling membahagiakan karena memang kita diciptakan untuk berpartisipasi dalam kehidupan Allah, yaitu menikmati relasi pribadi dengan Bapa, Putera dan Roh Kudus. Di situlah kita menemukan diri kita sendiri yang sejati sebagaimana dikehendaki Allah, yang adalah keserupaan dengan Putera-Nya. Apa artinya semua usaha kita kalau tidak dikerjakan dalam kesatuan intim, sehati sejiwa dengan Tuhan Yesus yang hanya mau mencari kehendak Bapa?

Akan tetap kita adalah ciptaan dalam keadaan berdosa: “Dalam dosa aku dikandung ibu.” Relasi dengan Allah diputus oleh pemberontakan kita. Kita mencari diri sendiri daripada Allah. Kita tidak tahu bagaimana berdoa kalau kita tidak mau berdoa, kita mengalami bahwa kita tidak mampu - ada perpecahan yang makin dialami di dalam diri kita. Dalam Peraturan Santo Benediktus yang adalah dasar hidup spiritualitas monastik kami, dianjurkan bahwa pada ibadat  harian pikiran kita hendaknya selaras dengan suara kita. Mungkin merupakan suatu undangan untuk hadir dengan penuh perhatian, tanpa membiarkan diri jatuh dalam pikiran distraksi, suatu perjuangan hebat. Tetapi ada arti yang lebih dalam: keselarasan antara pikiran dan suara hanya bisa dialami oleh manusia yang telah direkonsiliasikan, dipulihkan, dipersatukan. Jarang pikiran kita sama dengan suara kita bukan hanya dalam ibadat melainkan juga dalam hidup sehari-hari. Bicara tanpa pikir, tidak berani mengatakan apa yang dipikirkan, terpecah. Kita mengalami kebutuhan kita untuk diselamatkan agar kita bisa mengarahkan diri pada Allah menurut keinginan kita yang terdalam.

------------

(Hak Cipta: Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono. Penyalin: Herman SSCG)

Spiritualitas Penghayatan Ibadat Harian [Pengantar]

Martha E. Driscoll, OCSO

Kata Pengantar

Ketika saya diminta mensharingkan pengalaman akan Ibadat Harian kepada para Frater Diosesan di Seminari Tinggi Kentungan, pengalaman akan Ibadat Harian, saya bertanya diri harus bicara apa? Tangan saya kosong. Saya masih belum bisa berdoa, belum bisa menghayati ibadat harian dengan betul, meskipun Ekaristi dan Ibadat adalah pusat hidup saya - 3 jam sehari.

Karena itu undangan untuk memberi latihan dan inspirasi kepada para Frater itu saya terima sebagai petunjuk Tuhan bagi saya dan komunitas Gedono untuk lebih memperdalam Ibadat Harian itu sendiri. 

Seringkali orang mengatakan bahwa, sulit untuk akrab dengan ibadat. Yang lain lagi mengatakan bahwa mereka terlalu sibuk dan tidak ada waktu untuk ofisi. Kemudian mendoakan ibadat, kadang menjadi rutin, kering, tak menyenangkan. Lebih-lebih ada masalah distraksi, pikiran yang berlari-lari, kurang bisa konsentrasi. Kalau ibadat didoakan bersama lebih baik, tetapi lalu muncul macam-macam gangguan karena selera yang berbeda-beda, irama yang terlalu cepat, terlalu lamban, kurang memuaskan. Maka ada pertanyaan: “Bagaimana menjadi akrab dengan Ibadat Harian?”

Saya punya kesan bahwa mungkin saya diminta memberi metode yang dapat menjamin adanya pengalaman enak untuk menghayati Ibadat Harian - baik yang didoakan bersama maupun sendirian - secara instan. Kalau itu yang diharapkan, saya tidak dapat memenuhinya. Saya tidak mampu untuk itu. Tetapi saya dapat mensharingkan, memberi sedikit renungan, juga beberapa petunjuk praktis, dan mungkin dapat membangkitkan pertanyaan dan kerinduan. Komunitas Gedono ikut menyiapkan presentasi ini melalui refleksi dan diskusi seluruh komunitas. 

Dalam tulisan ini, saya ingin membagikan pengalaman saya secara lebih luas, kepada pembaca umum / awam yang berminat baik secara kelompok maupun pribadi yang ingin menghayati Ibadat Harian. Karena Ibadat Harian bukanlah doa khusus bagi para imam, calon imam dan religius saja, tetapi merupakan doa seluruh Tubuh Kristus - kepada dan anggotanya - yang diarahkan kepada Allah atas nama semua orang dan demi kepentingan seluruh umat manusia.

------------

(Hak Cipta: Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono. Penyalin: Herman SSCG)